Fungsi trotoar yang kacau, penduduk kota Subang didesak untuk mengembalikan hak pejalan kaki

Subang, tukuijaja.com- trotoar harus menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki. Tetapi kenyataan yang terjadi di kota Subang adalah sebaliknya.

Di beberapa jalan protokol, trotoar tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Sejumlah trotoar sekarang telah berubah menjadi tempat perdagangan, area parkir.

Ini tentu saja menjadi ironi, karena secara fisik kondisi trotoar di beberapa daerah Subang dipantau cukup baik. Pemerintah daerah telah melakukan perbaikan dan pelebaran trotoar di beberapa titik dalam beberapa tahun terakhir. Namun, penggunaan yang salah membuat fungsinya tidak lagi dinikmati oleh pejalan kaki.

Berdasarkan pemantauan lapangan, trotoar di beberapa jalan protokol seperti Jalan Otto Iskandardinata (Ootista), Jalan Agus Salim, Jalan Panglejar, Jalan Mayjen Soeprapto, ke daerah kuliner di akses jalan Pujasera, telah mengalami fungsi fungsi.

Di tempat -tempat ini, trotoar dipenuhi dengan pedagang kaki lima, gerobak, kursi perdagangan, papan promosi, untuk kendaraan bermotor yang diparkir.

“Secara fisik, ada banyak trotoar yang bagus, tetapi kenyataan tidak dapat digunakan. Kita sebagai pejalan kaki sering harus pergi ke jalan raya karena jalur trotoar digunakan untuk parkir atau perdagangan,” keluh Ny. Sari (42), seorang penduduk Karanganyar.

Tidak hanya kenyamanan yang mengganggu, kondisi ini juga menimbulkan risiko keselamatan. Anak -anak sekolah, orang tua dan orang tua yang berjalan dipaksa untuk berbagi ruang dengan kendaraan bermotor di jalan raya.

“Jika sibuk, trotoar digunakan semuanya. Parkir sepeda motor, pedagang kaki lima, bahkan ada taksi sepeda motor online yang menunggu penumpang di trotoar,” tambah Yudi (33), seorang penduduk Jalan Ra Kartini.

Bahkan, fungsi trotoar telah dijamin oleh hukum. Dalam Pasal 45 Paragraf (1) Undang -undang No. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas jalan dan transportasi dipentaskan secara ketat:

“Trotoar adalah fasilitas untuk pejalan kaki.”

Selain itu, pasal 28 paragraf (2) menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan yang mengganggu fungsi peralatan jalan. Dalam hal ini, trotoar termasuk dalam kategori peralatan jalan yang tidak boleh disalahgunakan.

Pelanggaran aturan ini bukan hanya tindakan yang tertib, tetapi juga dapat dikenakan sanksi hukum. Pasal 274 Paragraf (1) menetapkan bahwa:

“Siapa pun yang merusak atau menghilangkan fungsi peralatan jalan tunduk pada penjara maksimum 1 (satu) tahun atau denda maksimum RP24 juta.”

Namun, fakta -fakta di lapangan menunjukkan kelemahan pengawasan dan kurangnya tindakan menentukan dari pihak berwenang. Trotoar terus disita tanpa kontrol yang konsisten.

Warga berharap bahwa Pemerintah Kabupaten Subang, melalui Unit Kepolisian Layanan Sipil (Satpol PP) dan Badan Transportasi, segera menindak pelanggaran penggunaan trotoar dan mengembalikan fungsi mereka sebagaimana mestinya.

“Kami tidak setuju dengan perdagangan orang, tetapi harus ada. Trotoar adalah hak publik, bukan milik beberapa orang yang memiliki bisnis,” kata Iwan (45), seorang penduduk Jalan Mayjen Sutoyo.

Selain mengendalikan, penduduk juga meminta sosialisasi dan pendidikan kepada publik mengenai fungsi trotoar, pentingnya ruang publik, dan kesadaran akan hak -hak sesama pengguna jalan.

“Harus ada sanksi nyata. Jika dibiarkan tidak terkendali, kemudian semua orang akan merasa bebas untuk menggunakan trotoar sesuka hati,” tambah Iwan.

Fenomena ini menggarisbawahi pentingnya perencanaan spasial yang adil dan memihak keamanan warga. Trotoar bukan hanya jalan pejalan kaki, tetapi simbol peradaban kota. Kota yang memuliakan pejalan kaki adalah kota yang peduli dengan warganya.

Ketika pemerintah distrik serius menciptakan kota yang ramah dan tertib, kembalinya trotoar adalah langkah pertama yang sangat penting. Pejalan kaki tidak bisa menjadi warga kelas kedua di tanahnya sendiri.